Sebenarnya tulisan ini merupakan penelitian saya sewaktu menempuh pendidikan strata satu pada UIN Alauddin Makassar, jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Namun fokus penelitiannya saya perbaharui dengan upaya melihat nilai-nilai sosial pada tradisi ini. Selanjutnya silahkan di baca, kalau ada kesalahan atau kurang tepat silahkan dikoreksi. hehehe
NILAI NILAI SOSIAL DALAM TRADISI MAPPANRE TEMME’
DI KECAMATAN TANETE RILAU, KABUPATEN BARRU
Oleh
Chaerul Mundzir
I.
PENDAHULUAN
Kebudayaan merupakan jiwa dan tolak ukur kualitas manusia, sebab
kebudayaan adalah milik manusia, hanya manusialah yang berbudaya sebagai wujud
dari proses kreatifitas dan produktivitas manusia tersebut. Menurut Sugira
Wahid salah satu bukti pembentukan sebuah budaya dari salah satu unsur
pembentuk kebudayaan yakni religi[1]. Salah satu pembentukan tersebut dalam dilihat dari proses islamisasi di
Kecamatan Tanete Rilau yang pada waktu itu masih menjadi bagian dari Kerajaan
Tanete.
Seperti yang dijelaskan oleh Hasan Waliono, bahwa Islam di
Tanete tersebar sejak abad XVII pada zaman pemerintahan Petta Sugie dan pada
saat itu pulalah Islam telah menjadi agama resmi kerajaan.[2]
Keberadaan masjid di desa Lalabata yang merupakan salah satu desa di Kecamatan
Tanete Rilau, menjadi salah satu bukti kedatangan Islam saat itu, yang
berfungsi sebagai tempat ibadah dan sebagai pusat kebudayaan[3].
Hal tersebut membuktikan bahwa islamisasi di Tanete tidak hanya dalam domain
politik saja bahkan merambah ke ranah sosial dan budaya masyarakat. Kehadiran
Islam sebagai salah satu unsur pembentuk kebudayaan pada akhirnya membentuk
budaya baru bagi masyarakat Tanete khususnya dalam membaca Alquran.
Pelaksanaan
kegiatan membaca dan menamatkan Alquran muncul khususnya di daerah Tanete,
sebagai dampak dari proses Islamisasi atau pengembangan Islam di daerah
tersebut. Meskipun, semua sepakat bahwa tradisi ini tidak hanya sebuah fenomena
yang terjadi pada komunitas masyarakat Barru, tapi pada masyarakat Bugis secara
umum. Akan tetapi, penulis perlu memfokuskan penelitian terhadap tradisi Mappanrre
Temme’ ini pada salah satu komunitas masyarakat Bugis yakni masyarakat Tanete, Barru.
Tradisi Mappanre
Temme’ adalah sebuah tradisi khataman Alquran bagi orang yang tamat
mengaji, tentu saja memiliki tata cara pelaksanaan tersendiri di dalamnya. Tetapi
melihat kenyataan saat ini, tradisi Mappanre Temme’ menghadapi masa
surut di tengah masyarakat. Terbukti dengan penggabungan tradisi ini ke dalam
prosesi Mappaccing dengan dalih mengefisienkan aktivitas budaya
masyarakat, khususnya masyarakat Tanete Rilau.
Oleh karena itu, pelaksanaan prosesi
ini sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam. Perlu dipahami bahwa tradisi Mappanre
Temme’ yang lahir dari sebuah komunitas masyarakat islami ini, merupakan
tradisi yang mengandung nilai-nilai sosial bagi masyarakat, sehingga
keberadaaan tradisi tersebut dapat di pertahankan, khususnya di Kecamatan
Tanete Rilau.
II.
PENGERTIAN MAPPANRE TEMME’
Untuk menghindari kesalahan pahaman dalam pengertian judul ini maka
penulis merasa perlu
untuk menguraikan beberapa makna yang menjadi kata-kata kunci dalam penelitian
ini:
1.
Nilai, yaitu sifat-sifat atau hal-hal yang penting bagi
kemanusiaan. Jika arti dari nilai dikaitkan dengan budaya maka bisa berarti
bahwa konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai
dalam kehidupan manusia[4].
Dalam hal ini sesuatu bisa bernilai jika memiliki sifat atau hal-hal yang
penting bagi subjek penggunanya.
2.
Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan
masyarakat[5].
3.
Mappanre dalam bahasa
Bugis berarti memberi makan, sedangkan Temme’ ialah orang yang tamat mengaji atau khatam
al-Qur’an. Dalam Glosarium Sulawesi Selatan, Mappandre Temme diartikan
sebagai proses pengadaan perjamuan sehubungan dengan khataman al-Qur’an[6].
Pada intinya Mappandre Temme’ adalah sebuah prosesi yang memberi
apresiasi terhadap anak laki-laki atau perempuan yang telah tamat mengaji atau
khatam al-Qur’an.
4.
Tanete Rilau, Kabupaten Barru, adalah sebuah daerah di Kabupaten
Barru, tepatnya Sulawesi- Selatan. Dahulunya daerah ini merupakan bagian dari
wilayah kekuasaan Kerajaan Tanete yang sebelumnya bernama Kerajaan Agang Niojo.
Mengacu pada pengertian kata perkata di atas, maka definisi
operasional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengungkapan nilai nilai
dari sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat berupa prosesi sehubungan
dengan khataman Alquran di Kecamatan Tanete Rilau. Ruang lingkup penelitian ini
hanya terbatas pada wilayah Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru dan
terfokus pada pelaksanaan ritual Mappanre Temme’ lalu berupaya mengkaji
asal-usul, tata cara pelaksanaannya dan nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut.
III. Latar
Belakang Keberadaan Tradisi Mappanre Temme’
Menelusuri latar belakang tradisi Mappanre Temme’, tidak
lepas dari islamisasi di Kerajaan Gowa pada abad XVII M. Setelah Islam diterima
oleh Sultan Alauddin di masjid Tallo pada 9 November 1607. Mulai saat itulah
Kerajaan Gowa-Tallo memproklamirkan Islam sebagai agama resmi kerajaan.[7]
Keberadaan Kerajaan Gowa sebagai pusat Islamisasi berdasarkan kesepakatan
sebelumnya antara kerajaan-kerajaan di Sulawaesi-Selatan, isi perjanjian
tersebut, sebagai berikut:
..Bahwa barang siapa yang menemukan jalan yang lebih baik, maka ia
berjanji akan memberitahukan tentang jalan yang baik itu kepada raja-raja
sekutunya..[8]
Proses
penyebaran Islam pun dijalankan oleh Kerajaan Gowa dengan membawa dan mengirim
utusan ke kerajaan-kerajaan tetangga di Sulawesi Selatan, dengan membawa hadiah
yang diperuntukan kepada setiap raja yang didatangi oleh utusan tersebut.[9]
Utusan tersebut membawa pesan kepada Raja Tanete agar datang ke Somba Opu,
seperti yang tertera dalam lontara Tanete, dinyatakan bahwa:
..setelah lima tahun lamanya Petta Pallase LaseE memerintah di
Kerajaan Tanete, datanglah seruan raja Gowa-Tallo kepada raja Tanete untuk
datang ke Kerajaan Gowa-Tallo guna menerima Islam. Ketika itu seluruh orang
Makassar dinyatakan masuk Islam. Setelah agaman Islam diterima dengan baik oleh
Petta Pallase LaseE, maka kembalilah beliau menyampaikan atau menyerukan kepada
rakyatnya, dan juga termasuk Raja Nepo..[10]
Setelah Petta Pallase LaseE masuk
Islam pada tahun 1608, lima tahun setelah ia menjabat sebagai Raja Tanete dan
satu tahun setelah Islam resmi menjadi agama Kerajaan Gowa Tallo. Dalam kegiatan
syiar agama Islam, raja mengangkat seorang ulama, yaitu Lawaru Daeng Mattepu menjadi
guru agamanya, sekaligus sebagai wakilnya dalam syiar agama Islam.[11]Setelah
dua tahun syiar Islam seluruh masyarakat telah menerima Islam dengan baik,
dilandasi dengan sistem sosial budaya dan hubungan baik antara para pedagang
yang beragama Islam, tentu tanpa adanya pemaksaan kepada masyarakat untuk
meninggalkan tatanan kultural mereka. Atas dasar itu Raja menetapkan Islam
menjadi agama resmi kerajaan pada tahun 1610.[12] Pada
sisi lain, masjid yang dibangun pada masa pemerintahan Petta Palla laseE
setelah masuk Islam, dapat menjadi sebuah bukti keberadaan Islam di Tanete,
meskipun tidak diketahui secara pasti pada tahun berapa masjid itu dibangun.
Hal tersebut senada dengan hasil wawancara pada salah satu tokoh masyarakat
setempat, yakni sebagai berikut:
Masjid Lailatul Qadr desa Lalabata
adalah Masjid pertama di Tanete. Masjid itu dibangun oleh Petta Pallase LaseE.
Bahkan masjid ini adalah Masjid ketiga tertua di Sulawesi Selatan setelah
Masjid Katangka dan Masjid di Palopo.[13]
Berdirinya
masjid di suatu tempat adalah bukti sejarah tentang masuknya Islam di tempat
tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Sidi Gazalba, sebagai berikut:
Dalam sejarah kita dipersaksikan,
tanda kekuasaanya suatu daerah.. oleh orang-orang Islam ialah didirikan masjid
disitu, setelah masjid berdiri berlangsung proses pembentukan masyarakat,
sehingga terbentuk masyarakat Islam, yang tadinya tidak ada disitu, pertanda
Islam suatu kampung atau suatu kota ialah berdirinya masjid disitu.[14]
Kehadiran Islam
di Kerajaan Tanete tentu memberi dampak baru terhadap perubahan sistem politik,
budaya dan ekonomi masyarakat. Terlebih lagi,
terdapat hubungan dagang dengan para pedagang muslim dan hubungan baik
dengan kerajaan Islam lain, salah satunya ialah Kerajaan Gowa-Tallo.
Setelah adanya
masjid, dibentuklah Parewa Syara’ atau lembaga sara’ yang dipimpin oleh
seorang Qadhi yang pada waktu itu Qadhi yang dipimpin oleh Lasulo Daeng Matajang.[15]
Pembetukan Parewa Syara’ itu berdampak pada tantanan religius dan
kultural masyarakat. Perubahan dalam hal religius dapat dilihat dari masyarakat
meninggalkan kepercayaan sebelumnya, dengan mengikis sedikit demi sedikit,
sekaligus menanamkan Islam didalam diri masyarakat. Sedangkan, dari segi
kultural berdampak pada perubahan tatanan kultural di masyarakat yaitu ade,
wari, rapang dan bicara lalu ditambahkan lagi sara’ dalam
tatanan kultural tersebut.[16]
Pembentukan Parewa Syara ini juga yang mendasari pengadaan pendidikan
dasar Alquran bagi anak-anak maupun
orang dewasa yang dilaksanakan dirumah-rumah guru-guru mengaji dan
masjid. Seperti yang dijelaskan Mattulada sebagi berikut:
Untuk pendidikan dasar Alquran
(membaca Alquran dan shalat) bagi anak-anak, mereka mengunjungi rumah-rumah
guru mengaji. Untuk pendidikan lanjutan bagi para pemuda, maka mereka
mengunjungi ulama tertentu yang memberikan pendidikan itu.[17]
Proses
islamisasi di Sulawesi Selatan sendiri khususnya pada abad ke XVII, dikenal ada
dua kerajaan yang menjadi pioner dalam penyebaran dan pengajaran Islam yaitu
Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Tanete. Kerajaan Gowa-Tallo yang pertama
menganjurkan proses islamisasi terhadap kerajaan-kerajaan di Sulawesi-Selatan
dan Kerajaan Tanete menjadi pelaksana islamisasi terhadap kerajaan-kerajaan
lain, terkhusus pada kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam persekutuan Malusetasi
dan Ajattapareng. Kenyataan itu berdampak pada posisi dua kerajaan
tersebut sebagai pusat studi Islam. Pusat studi Islam di Kerajaan Gowa-Tallo
berpusat di Tallo yang dikunjungi oleh utusan kerajaan dari TellumpoccoE
dan kerajaan-kerajaan di bagian Selatan, seperti Bulo-Bulo, Lamatti dan
Bantaeng. Sementara kerajaan-kerajaan lain dari persekutuan Malusetasi
dan Ajatappareng lebih memilih memperdalam pengetahuan Islam di Tanete.[18]
Sehingga sangat memungkinkan jika penyebar Islam dan budaya-budaya yang
bersifat islami mulai tersebar dari kedua kerajaan ini.
Jadi, dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa Tradisi Mappanre Temme’ yang merupakan sebuah tradisi
masyarakat muslim setelah tamat mengaji hadir setelah Parewa Syara’ terbentuk,
yang berperan penting dalam pendidikan Alquran untuk anak-anak dan dewasa. Parewa
Syara’ dibentuk setelah Islam resmi
menjadi agama kerajaan di Kerajaan Tanete pada 1610 M, tepatnya dua tahun
setelah Petta Pallase LaseE masuk Islam dan setelah dibangun sebuah
masjid di daerah Lalabata Kerajaan Tanete sebagai pusat studi Islam.
Selanjutnya, keberadaan Kerajaan Tanete sebagai pusat studi Islam sangat
berpengaruh dalam penyebaran budaya yang bernuansa islami pada masyarakat Bugis
khususnya daerah Malusetasi dan Ajatapareng. Perlu pula
diketahui, sebelumnya ada tatanan kultural masyarakat yang dipertahankan dan
ada beberapa tradisi-tradisi yang bersifat syukuran dalam kehidupan masyarakat,
sebelum Islam menjadi agama resmi pada tiap-tiap daerah.
IV. PELAKSANAAN
PROSESI MAPPANRE TEMME’
Pada dasarnya tradisi Mappanre Temme’ seperti yang
dijelaskan dalam glosarium Sulawesi
Selatan, diartikan sebagai proses pengadaan perjamuan sehubungan dengan
khataman Alquran.[19]
Berdasarkan hasil wawancara dari penulis dari salah satu informan
yang masih menjalankan tradisi ini, yakni Mappanre Temme’ lebih dari
sekedar sebuah tradisi pada saat tamat mengaji. Mappanre Temme’ adalah
rangkaian puncak dari salah satu cara hidup orang muslim khusunya daerah Bugis
(membaca Alquran) yang memiliki arti yang sangat mendalam, sehingga tradisi ini
jangan disalah pahami hanya sebagai sebuah perayaan bagi orang yang telah tamat
mengaji.[20]
Bahkan jika seseorang belum melaksanakan tradisi Mappanre Temme’,
dianggap masih menjadi tanggungan guru mengaji atau sederhananya masih menjadi
anak dari guru mengaji tersebut.[21] Adapun
pendapat dari informan penulis yaitu Kamaluddin Aliah dan Abdul Jalil Aliah
yang masing-masing berumur 76 dan 73 tahun, memiliki pengalaman bahwa jika
seseorang tidak tamat Alquran dan untuk membuktikan telah tamat yakni perlu
mengadakan Mappanre Temme’. Jika tidak, maka anak itu tidak dapat masuk
Sekolah Rakyat (SR).[22]
Perlu pula dijelaskan bahwa tradisi Mappanre Temme’ pada
awalnya adalah sebuah tradisi yang berdiri sendiri. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu serta memasuki era globalisasi, maka tradisi Mappanre
Temme’ ini diefisienkan dan seringkali dirangkaian dengan acara khitanan
serta acara Maulid,[23]
walaupun terkadang masih banyak masyarakat yang melaksanakannya sendiri. Bahkan
realitas saat ini, tradisi Mappanre Temme’ dirangkaikan dengan tradisi Mappaccing.
Keberadaan tradisi Mappanre Temme’ pada tradisi Mappaccing karena
ketakutan orang tua jika anak mereka belum melaksanakan tradisi Mappanre
Temme’ setelah tamat mengaji saat kecil. Selain itu ada yang berpendapat
demi mengefisienkan waktu. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa pelaksanaan Mappanre
Temme pada tradisi Mappaccing dengan alasan bahwa Mappaccing adalah
salah satu bagian penting dari hidup ini yakni pernikahan. Jadi sebelum
menikah, ada baiknya menamatkan Alquran terlebih dahulu.[24]
Senada dengan wawancara penulis kepada salah satu informan, yakni:
Menjelang perkawinan, perlu melaksanakan Mappanre Temme’ lebih
dulu setelah itu baru Mappaccing.[25]
Rangkaian prosesi pada Mappanre Temme’ dimulai dari
menyiapkan berbagai hal yang diperlukan dalam melaksanakan tradisi ini.
Pertama, menyiapkan kue, songkolo dan ayam, salosso’. Berdasarkan
hasil wawancara mengenai songkolo dan salosso’ dapat dilihat di bawah ini:
Songkolo itu perlu ada
pada setiap prosesi orang Bugis-Makassar khususnya umat Islam. Sesuai dengan
bentuk dari songkolo’ yang mappije’ memiliki simbol persatuan
umat dalam hal ini umat Islam.[26]
Salosso´ ember-ember
yang berisi songkolo ayam atau telur, dan biasanya ditemui saat acara-acara
maulid. Salosso’ pada tradisi Mappanre Temme’ biasanya diperuntukkan kepada guru mengaji.[27]
Kue yang disiapkan pun ada beberapa yang hanya sebuah hidangan dan
ada yang memang sebuah kue wajib. Kue yang wajib ada saat pelaksanaan prosesi
ini ialah kue bannang, onde-onde, barongko, doko’doko’ cangkuling,
giling-kiling, cucuru’ ma’dingki dan lapisi yang dihidangkan dalam
satu kappara’.[28]
Maksud diwajibkankannya kue ini, selain sebagai sebuah tradisi yang turun
temurun, kue-kue ini pun perlu dipahami memiliki maksud mendalam sebagai sebuah
do’a. Salah satu wawancara penulis dengan tokoh masyarakat yakni Abdul Basir,
menyebutkan bahwa dalam tradisi masyarakat Bugis khususnya Tanete ini terdapat
istilah do’a langsung dan do’a perbuatan.[29]
Jadi, kue-kue ini dapat dikatakan sebagai refleksi langsung dari do’a
perbuatan. Karena mengandung nilai filosofis yang luar biasa, misalnya saja: Kue
bannang memiliki model/bentuk yang berlika-liku. Kue ini memiliki
essensi tentang harapan agar seorang anak mampu memahami bahwa dalam kehidupan
ini banyak rintangan yang pasti akan dihadapi sama halnya dengan model dan
bentuk kue bannang ini.[30]Bannang
dapat pula bermakna
tentang persatuan Islam, kue ini bentuknya kompleks. Meski memiliki bentuk
seperti itu, akan tetapi kue ini tetap menyatu dalam satu kue.[31]
Selain itu, kue lain tentu memiliki pengharapan dan do’a yang sama
baiknya dengan kue yang dijelaskan di atas. Kue-kue ini tidak hanya sekedar
hidangan atau pelengkap demi suksesnya sebuah acara atau kegiatan, tapi di
dalamnya terkandung banyak essensi yang perlu digali dan perlu mencari maksud
keberadaan dari kue-kue tersebut dalam pelaksanan sebuah acara, terkhusus pada
tradisi Mappanre Temme’ ini.
Rangkaian berikutnya, perlu menyiapkan ayam dua potong untuk dibawa
ke guru mengaji. Ayam yang dibawa sebagai tanda terima kasih kepada guru, atau
pengharapan dari wujud do’a perbuatan tersebut. Ayam tersebut diberikan kepada
guru mengaji dan guru mengaji memberi salah satu bagian dari ayam yakni hati
ayam, sebagai tanda cinta dan harapan mendalam kepada muridnya.[32]
Selain itu, perlu menyiapkan utti tellu seppe’ (pisang tiga sisir) yang
juga dibawa kerumah guru mengaji.[33]
Sekali lagi, jika tidak dilaksanakan berarti si murid masih menjadi tanggungan
atau anak si guru mengaji, dalam hal ini merupakan prosesi akhir dari Mappanre
Temme’.
Tahapan pelaksanaan tradisi Mappanre Temme’ selanjutnya,
adalah membawa murid yang tamat mengaji ke rumah guru mengaji. Berdasarkan
hasil penelitian ini, tidak diketahui dengan pasti tata cara pelaksanaan
tradisi Mappanre Temme’ pada tahapan ini karena informan yang
diwawancarai oleh penulis batas usia maksimal yang penulis dapatkan hanya pada
usia 92 tahun yang lahir pada tahun 1921 ialah Daud Aliah Daeng Pawero.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap salah satu informan, cara membawa anak ke
rumah guru mengajinya pada masa itu, hanya sekedar dibawa saja oleh orang
tuanya.[34] Ini berarti terdapat perbedaan dengan
tradisi serupa di Mandar yakni Mappatamma’, dimana anak dibawa dengan
naik kuda.
Setelah itu, perlu diadakan barazanji dalam rangkaian
pelaksanaan tradisi Mappanre Temme’.[35]
Setelah barazanji selesai mulailah prosesi inti yakni
membaca Alquran dalam tradisi Mappanre Temme’. Pembacaan Alquran
biasanya dilakukan oleh murid yang ingin menamatkan mengaji.[36] Tapi ada perbedaan pendapat antara salah satu informan yang
penulis temui, bahwa pembacaan Alquran tidak selamanya murid yang membaca akan
tetapi guru mengaji ataupun imam masjid yang membaca Alquran tersebut sembari
memegang jari telunjuk murid untuk membantunya menamatkan Alquran.[37]
Sebelum membaca Alquran, selain ta’audz dan membaca
basmalah, harus mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Selanjutnya,
membaca surah, terdapat beberapa rentetan surah tersendiri yang dibaca, dapat
dilihat dari hasil wawancara yang seluruhnya berpendapat sama, yakni surah yang
dibaca ialah al-Duha sampai al-Fatihah, tapi jika telah masuk ke dalam surah
al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas maka surah tersebut masing-masing dibaca tiga
kali, dan setiap kali selesai membaca surah demi surah diharuskan membaca
kalimat tahlil dan tahmid (La Ilaha Illallah wa lillah Ilham).[38] Setiap
selesai membaca kalimat tahlil dan tahmid (La Ilaha Illallah wa lillah
Ilham), murid mengaji akan dipercikkan sedikit beras, seperti yang
dijelaskan sebelumnya, bahwa ini adalah wujud dari do’a perbuatan (sennung-sennungeng).[39]
Pada salah satu wawancara penulis dengan salah satu tokoh agama, kegiatan ini
dinamakan Mappasiduppa (mempertemukan) dalam hal ini mempertemukan
setiap ayat yang dibaca dari al-Duha sampai al-Fatihah.[40]
Pada tahapan selanjutnya secara umum, murid kemudian
memberikan guru mengaji amplop yang berisi uang (ikhlas tapi wajar). Abdul
Basir mengatakan bahwa amplop tersebut diberikan oleh murid mengaji kepada guru
mengaji sebagai bentuk terima kasih dan cenning ati terhadap guru
mengaji tersebut. Selain itu, murid perlu pula memberikan kepada guru
mengajinya sebuah Alquran yang dibungkus didalam kain putih.[41]
Seperti yang dijelaskan diatas, mengenai dua ekor ayam ayam yang dibawa. Hati
ayam tersebut diberikan kepada murid mengaji untuk dimakan langsung dihadapan
guru mengaji.[42]
Hati ayam memberi simbol tersendiri atas rasa cinta guru terhadap muridnya.
Setelah guru mengaji tersebut memberikan makan terhadap muridnya,
maka berakhirlah rangkaian prosesi dari tradisi Mappanre Temme’. Tahapan
prosesi yang dijelaskan, merupakan serangkaian tahapan-tahapan dalam proses
penamatan Alquran. Prosesi Mappanre Temme’ memerlukan berbagai persiapan
mulai dari kue-kue, hidangan, songkolo, beberapa ekor ayam, Alquran yang
dibungkus kain putih, amplop bagi guru mengaji (sebagai cenning ati) dan
tentu saja Alquran yang digunakan untuk membaca.
V. Nilai – Nilai dalam Tradisi Mappanre
Temme’
Nilai merupakan
suatu konsepsi abstrak yang tidak dapat dilihat apalagi disentuh. Konsepsi
abstrak dari sebuah nilai, melembaga dalam pikiran manusia baik secara individu
maupun secara sosial dalam masyarakat, melembaganya sebuah nilai maka dapat
dikatakan sebagai sistem nilai. Tanpa sebuah nilai, hal apapun itu tidak akan
berarti apa-apa bagi manusia karena perwujudan sebuah nilai memang wajib
adanya, demi eksistensi dari sebuah hal.
Oleh karena
itu, dalam mewujudkan eksistensi dari tradisi Mappanre Temme’, maka
diperlukan nilai-nilai yang tetap menjaga keberadaan tradisi tersebut. Dalam
hal ini, penulis mencoba menganalisis tradisi Mappanre Temme’ dengan
menggunakan berbagai pendekatan, terkhusus pada pendekatan sosiologi.
Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari cara hidup bersama dalam masyarakat dan
menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi
mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh
serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu, serta pula kepercayaan,
keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama dalam tiap
persekutuan hidup manusia.[43]
Oleh karena itu, melalui pendekatan sosiologi ini, diharapkan mampu mendekati
tradisi Mappanre Temme’ dari sudut pandang masyarakat maupun mengambil
nilai yang memiliki orientasi bersifat baik bagi masyarakat.
Tradisi Mappanre
Temme’ jika dicermati dari segi pelaksanaan dari awal hingga akhir tidak
terlepas dari kontribusi manusia sebagai makhluk sosial. Mulai dari persiapan
kue-kue, songkolo, ayam, salosso’, Alquran dan lain sebagainya.
Hingga pada tahap pelaksanaan Mappanre Temme’ itu sendiri, Barazanji,
membawa anak ke rumah guru mengaji atau masjid dan mengaji di hadapan
gurunya. Serangkaian kegiatan itu, merupakan seluruh konsep kegiatan yang tidak
terlepas dari kontribusi manusia lainnya dan tentunya manusia tidak berdiri
sendiri sebagai sebuah individu.
Melalui penjabaran pelaksanaan
kegiatan diatas dapat diambil beberapa nilai-nilai sosial, berlaku bagi
individu yang hidup dalam masyarakat maupun masyarakat dengan masyarakat lain,
diantaranya:
1.
Gotong royong, merupakan sebuah nilai yang tersirat jelas dalam
tradisi ini. Pelaksanaan prosesi Mappanre Temme’ tentu membutuhkan kerja
sama yang baik sehingga dalam proses penyelesaian tahapan-tahapan pelaksanaan
kegiatan Mappanre Temme’ terbangun kerja sama yang baik antara manusia
sebagai individu kepada masyarakat lainnya. Gotong royong dapat ter-aplikasi
dengan baik, tentunya dapat terlaksana karena tradisi ini dilaksanakan didaerah
pedesaan yang ikatan kekerabatannya jauh lebih baik dibandingkan dengan
perkotaan. Seperti yang dijelaskan oleh Basrowi bahwa:
Warga suatu masyarakat pedesaan
mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka
dengan masyarakat kota, Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem
kekeluargaan.[44]
2.
Tolong-menolong; jelas merupakan sebuah nilai sosial yang
terkandung dalam tradisi ini selanjutnya. Konsep tolong menolong tidak dapat
terlepas dari prinsip gotong royong, keduanya ibarat dua sisi mata uang yang
saling menjaga. Hal ini pun, didukung dengan sebuah dalil dalam Q.S
al-Maidah/5:2 :
Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.[45]
3.
Solidaritas; nilai solidaritas tidak dapat terlepas dari tradisi
ini. Terlebih lagi, telah ada nilai yang terjaga dalam tradisi ini yaitu gotong
royong dan tolong menolong. Maka secara otomatis, akan muncul nilai solidaritas
dalam tradisi Mappanre Temme’. Solidaritas memiliki pengertian sebagai
sifat/ perasaan solider atau sifat satu rasa atau perasaan setia kawan.[46]
Jika solidaritas terbangun dengan baik antar masyarakat tentunya melalui
tradisi ini, maka dapat dipastikan hubungan emosional antara individu dengan
individu lain, maupun masyakarat dengan masyarakat lain akan semakin terjaga.
Dalam hal ini, hubungan antara murid dan guru serta hubungan antara murid dan
keluarganya.
4.
Komunikatif; unsur nilai ini, merupakan salah satu bagian
terpenting dalam tradisi ini, karena jika tidak terjalin komunikasi dalam hal
apapun, maka sangat mustahil tahapan demi tahapan dari pelaksanaan tradisi Mappanre
Temme’ akan terlaksana. Selain itu, komunikasi juga dapat memberi manfaat
lain, dalam hal ini individu dengan individu lain dapat saling berbagi
informasi sehingga memperluas cakrawala pengetahuan mereka masing-masing, juga
dapat semakin melebarkan sayap tradisi ini dan mempertahankan eksistensi
tradisi ini (sejarah lisan).
Penjelasan di atas, mengakhiri
penjelasan mengenai nilai-nilai sosial yang terkandung dalam tradisi Mappanre
Temme’. Nilai-nilai yang terkandung dari ini, tentunya dapat diamalkan
dengan baik oleh masyarakat yang nantinya dapat membuat tradisi ini dapat
bertahan dan mampu untuk terus berkembang.
VI.
KESIMPULAN
Berdasarkan pokok masalah
dan sub-sub masalah yang diteliti dalam tulisan ini, maka dirumuskan tiga kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Tradisi Mappanre Temme’ yang merupakan sebuah tradisi
masyarakat muslim setelah tamat mengaji hadir setelah dibentuknya Parewa
Syara’ yang berperan penting dalam pendidikan Alquran untuk anak-anak dan
dewasa. Parewa Syara’ pun dibentuk tentu setelah Islam resmi menjadi
agama kerajaan di Kerajaan Tanete pada 1610 M, tepatnya dua tahun setelah Petta
Pallase LaseE masuk Islam dan setelah dibangun sebuah masjid di daerah
Lalabata Kerajaan Tanete sebagai pusat studi Islam. Selanjutnya, keberadaan
Kerajaan Tanete sebagai pusat studi Islam sangat berpengaruh dalam penyebaran
budaya pada masyarakat Bugis khususnya daerah Malusetasi dan Ajatapareng.
Perlu pula diketahui sebelumnya ada tatanan kultural masyarakat yang
dipertahankan dan ada beberapa tradisi-tradisi yang bersifat syukuran di masyarakat
sebelum Islam ada.
2.
Pelaksanaan tradisi Mappanre Temme’ dimulai dari menyiapkan
berbagai perlengkapan dan hal-hal yang dibutuhkan demi jalannya tradisi ini.
Prosesi Mappanre Temme’ memerlukan berbagai persiapan mulai dari
kue-kue, hidangan, songkolo, beberapa ekor ayam, Alquran yang dibungkus
kain putih, amplop bagi guru mengaji (sebagai cenning ati) dan tentu
saja Alquran yang digunakan untuk membaca.
Setelah menyiapkan berbagai
perlengkapan, lalu dibawalah anak tersebut menuju rumah guru mengaji dengan
cara di soppo mengelilingi kampung oleh keluarga terdekatnya dalam hal ini
pada zaman dulu. Adapun
pendapat lain yang mengatakan bahwa, hal itupun terjadi (di soppo) jika
bersamaan dengan kegiatan khitanan, artinya cara membawa anak ke rumah guru
mengajinya pada masa itu, hanya sekedar dibawa saja oleh orang tuanya.
Selanjutnya melaksanakan barazanji
telebih dahulu sebelum memulai prosesi Mappanre Temme’. Setelah barazanji
selesai, mulailah prosesi inti yakni membaca Alquran guna menamatkan Alquran
itu sendiri. Pembacaan Alquran biasanya dilakukan oleh murid yang ingin
menamatkan mengaji. Adapun
pendapat lain bahwa, pembacaan Alquran tidak selamanya murid yang membaca akan
tetapi guru mengaji ataupun imam masjid yang membaca Alquran tersebut sembari
memegang jari telunjuk murid untuk membantunya menamatkan Alquran. Alquran yang
dibaca pun tidak semua, sampai seluruh Alquran habis dibaca. Surah yang dibaca
ialah al-Duha sampai al-Fatihah tapi jika telah masuk ke dalam surah al-Ikhlas,
al-Falaq dan al-Nas maka surah tersebut
masing-masing dibaca tiga kali, dan setiap kali selesai membaca surah demi
surah diharuskan membaca kalimat tahlil dan tahmid (La Ilaha Illallah wa
lillah Ilham). Setiap selesai membaca tiap surah selain membaca kalimat
tahlil dan tahmid (La Ilaha Illallah wa lillah Ilham) seorang murid
mengaji akan dipercikkan sedikit beras kepada dirinya sama, seperti yang
dijelaskan sebelumnya bahwa ini adalah wujud dari do’a perbuatan (sennung-sennungeng)
tahapan prosesi ini dikenal dengan istilah Mappasiduppa.
Setelah tahapan tersebut, murid
kemudian memberikan guru mengaji amplop yang berisi uang (ikhlas tapi wajar)
sebagai bentuk terima kasih dan cenning ati buat guru mengaji tersebut.
Selain itu, murid perlu pula memberikan kepada guru mengajinya sebuah Alquran
yang dibungkus didalam kain putih. Selanjutnya guru mengaji tersebut memberikan
makan terhadap muridnya dalam hal ini hati ayam yang disuapkan langsung sebagai
bentuk cinta guru terhapap murid.
3.
Demi mewujudkan eksistensi dari tradisi Mappanre Temme’,
maka diperlukan nilai-nilai yang tetap menjaga keberadaan tradisi tersebut.
Melalui pendekatan sosiologi dapat diambil beberapa nilai-nilai sosial dalam
tradisi tersebut yaitu nilai gotong royong, tolong-menolong, solidaritas dan komunnikatif.
DAFTAR PUSTAKA
Basrowi, Pengantar Sosiologi Cet. I; Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi.
IV Cet. I; Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Gazalba, Sidi. Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan
Sosiografi Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Mappangara, Suriadi. Glosarium Sulawesi Selatan Cet I,
Makassar; BPNST Makassar, 2007.
Mattulada, Islam di Sulawesi Selatan Makassar; Laporan
Fisbud Unhas, 1976.
Nasrah, St. Mahasiswa dan Pembaharuan Cet I, Yogyakarta;
Grha Guru, 2004.
Poelinggomang, Edward. Sejarah Sulawesi Selatan, Jilid. II, Makassar: Balitbangda, 2004.
Sahajuddin. “Proses Islamisasi di Kerajaan Tanete Barru pada Abad
XVII”. Walasuji no 1 (Juni 2010), h. 106.
Sahajuddin. “To Manurung
Versus To Sangiang”. Bosara no. 2/VI/2008 (Juni 2008)
Sewang, Ahmad. M. Islamisasi
Kerajaan Gowa – Abad XVI sampai Abad XVII Cet II; Jakarta; Yayasan Obor
Indonesia,2005.
Wahid, Sugira. Manusia
Makassar Cet. I; Makassar: Pustaka Refleksi, 2007.
Waliono, Hasan. Tanete; Suatu Studi Sosiologi Politik, Disertasi
Makassar: Universitas Hasanuddin, 1976.
[1]Unsur-unsur
pembentukan kebudayaan yang bersifat universal, seperti: bahasa, sistem
teknologi harian, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem
pengetahuan, religi dan kesenian. Lihat dalam Sugira Wahid, Manusia Makassar (Cet. I; Makassar:
Pustaka Refleksi, 2007), h.4.
[2]Hasan Waliono, Tanete;
Suatu Studi Sosiologi Politik, Disertasi (Makassar: Universitas Hasanuddin,
1976), h. 66.
[4] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi IV (Cet I, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama)., h. 963
[5] Ibid. h.
1483
[6] Suriadi
Mappangara, Glosarium Sulawesi Selatan, (Cet I, Makassar; BPNST
Makassar, 2007)., h. 274
[7]St Nasrah, Mahasiswa
dan Pembaharuan (Cet I, Yogyakarta; Grha Guru, 2004), h. 25.
[9]Ahmad. M.
Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa – Abad XVI sampai Abad XVII (Cet II;
Jakarta; Yayasan Obor Indonesia,2005), h. 111.
[10]Lihat Edward
Poelinggomang, Sejarah Sulawesi Selatan,
Jilid. II (Makassar: Balitbangda, 2004), h. 50. dalam Sahajuddin.
“Proses Islamisasi di Kerajaan Tanete Barru pada Abad XVII”. Walasuji no 1
(Juni 2010), h. 106.
[11]Sahajuddin. “To
Manurung Versus To Sangiang”. Bosara no.
2/VI/2008 (Juni 2008),h. 107.
[13]M. Yusuf Aliah,
Imam Masjid Lailatul Qadr, ‘wawancara’ Tanete Rilau 26 Mei 2013
[14]Sidi Gazalba, Masyarakat
Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
165.
[16]Sahajuddin, op.cit,
h. 110.
[17]Mattulada, Islam
di Sulawesi Selatan (Makassar; Laporan Fisbud Unhas, 1976), h. 20.
[18]Sahajuddin, op.cit.,
h. 109-110.
[19]Suriadi
Mappangara, Glosarium Sulawesi Selatan (Cet. I; Makassar: BPNST
Makassar, 2007), h. 274.
[20]St Nasrah,
Kepala Sekolah Smp YP PGRI, ‘wawancara’ Makassar 15 Juni 2013.
[21]Abdul Basir,
Guru Mengaji, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[22]Kamaluddin
Aliah dan Abdul Jalil Aliah, Tokoh Agama dan Imam Desa Pancana, ’wawancara’
Tanete Rilau 23-24 Mei 2013.
[23]Kamaluddin
Aliah, Tokoh Agama, ’wawancara’ Tanete Rilau 23 Mei 2013.
[24] Abdul Jalil
Aliah, Imam Desa Pancana, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[25]Abd. Rauf
Aliah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, ‘wawancara’ Tanete Rilau 23 Juni
2013.
[26]Abd. Rauf
Aliah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, ‘wawancara’ Tanete Rilau 23 Juni
2013.
[27]St Nasrah,
Kepala Sekolah Smp YP PGRI, ‘wawancara’ Makassar 18 Juni 2013
[28]Abdul Jalil
Aliah, Imam Desa Pancana, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[29]Abdul Basir,
Guru Mengaji, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[30]St. Nasrah,
Kepala Sekolah Smp YP PGRI, ’wawancara’ Makassar 15 Juni 2013.
[31]Abd. Rauf
Aliah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, ‘wawancara’ Tanete Rilau 23 Juni
2013.
[32]Abdul Basir,
Guru Mengaji, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[33]Abu Majid,
Tokoh Agama, ’wawancara’ Tanete Rilau 26 Mei 2013.
[34]Abdul Jalil
Aliah, Imam Desa Pancana, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[35]Daud Aliah
Daeng Pawero, Imam Desa Lalabata, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[36]Kamaluddin
Aliah dan Abdul Jalil Aliah, Tokoh Agama dan Imam Desa Pancana, ’wawancara’
Tanete Rilau 23-24 Mei 2013.
[37]Abdul Basir,
Guru Mengaji, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[38]Kamaluddin
Aliah, Tokoh Agama, ’wawancara’ Tanete Rilau 23-24 Mei 2013.
[39]Abdul Basir,
Guru Mengaji, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[40]Abu Majid,
Tokoh Agama, ‘ wawancara’ Tanete Rilau
26 Mei 2013.
[41]Abdul Basir,
Guru Mengaji, ’wawancara’ Tanete Rilau
24 Mei 2013.
[42]Kamaluddin
Aliah, Tokoh Agama, ‘wawancara’ Tanete Rilau 23 Mei 2013.
[43]Lihat Hassan
Sadhily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia (Cet IX ;Jakarta ;Bina
Aksara, 1983), h. 1 dalam Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet XII;
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 38-39.
[44]Basrowi, Pengantar
Sosiologi (Cet. I; Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), h. 59.
[45]Departemen
Agama RI, op. cit., h.106.
[46]Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi. IV (Cet.
I; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama),
h.1328.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar