Selasa, 29 September 2015

NILAI NILAI SOSIAL DALAM TRADISI MAPPANRE TEMME’

Sebenarnya tulisan ini merupakan penelitian saya sewaktu menempuh pendidikan strata satu pada UIN Alauddin Makassar, jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Namun fokus penelitiannya saya perbaharui dengan upaya melihat nilai-nilai sosial pada tradisi ini. Selanjutnya silahkan di baca, kalau ada kesalahan atau kurang tepat silahkan dikoreksi. hehehe






NILAI NILAI SOSIAL DALAM TRADISI MAPPANRE TEMME’
DI KECAMATAN TANETE RILAU, KABUPATEN BARRU
Oleh
Chaerul Mundzir

I.     PENDAHULUAN
Kebudayaan merupakan jiwa dan tolak ukur kualitas manusia, sebab kebudayaan adalah milik manusia, hanya manusialah yang berbudaya sebagai wujud dari proses kreatifitas dan produktivitas manusia tersebut. Menurut Sugira Wahid salah satu bukti pembentukan sebuah budaya dari salah satu unsur pembentuk kebudayaan yakni religi[1]. Salah satu pembentukan tersebut dalam dilihat dari proses islamisasi di Kecamatan Tanete Rilau yang pada waktu itu masih menjadi bagian dari Kerajaan Tanete.
Seperti yang dijelaskan oleh Hasan Waliono, bahwa Islam di Tanete tersebar sejak abad XVII pada zaman pemerintahan Petta Sugie dan pada saat itu pulalah Islam telah menjadi agama resmi kerajaan.[2] Keberadaan masjid di desa Lalabata yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Tanete Rilau, menjadi salah satu bukti kedatangan Islam saat itu, yang berfungsi sebagai tempat ibadah dan sebagai pusat kebudayaan[3]. Hal tersebut membuktikan bahwa islamisasi di Tanete tidak hanya dalam domain politik saja bahkan merambah ke ranah sosial dan budaya masyarakat. Kehadiran Islam sebagai salah satu unsur pembentuk kebudayaan pada akhirnya membentuk budaya baru bagi masyarakat Tanete khususnya dalam membaca Alquran.
Pelaksanaan kegiatan membaca dan menamatkan Alquran muncul khususnya di daerah Tanete, sebagai dampak dari proses Islamisasi atau pengembangan Islam di daerah tersebut. Meskipun, semua sepakat bahwa tradisi ini tidak hanya sebuah fenomena yang terjadi pada komunitas masyarakat Barru, tapi pada masyarakat Bugis secara umum. Akan tetapi, penulis perlu memfokuskan penelitian terhadap tradisi Mappanrre Temme’ ini pada salah satu komunitas masyarakat Bugis yakni masyarakat Tanete, Barru.
Tradisi Mappanre Temme’ adalah sebuah tradisi khataman Alquran bagi orang yang tamat mengaji, tentu saja memiliki tata cara pelaksanaan tersendiri di dalamnya. Tetapi melihat kenyataan saat ini, tradisi Mappanre Temme’ menghadapi masa surut di tengah masyarakat. Terbukti dengan penggabungan tradisi ini ke dalam prosesi Mappaccing dengan dalih mengefisienkan aktivitas budaya masyarakat, khususnya masyarakat Tanete Rilau.
Oleh karena itu, pelaksanaan prosesi ini sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam. Perlu dipahami bahwa tradisi Mappanre Temme’ yang lahir dari sebuah komunitas masyarakat islami ini, merupakan tradisi yang mengandung nilai-nilai sosial bagi masyarakat, sehingga keberadaaan tradisi tersebut dapat di pertahankan, khususnya di Kecamatan Tanete Rilau.
II.  PENGERTIAN MAPPANRE TEMME’
Untuk menghindari kesalahan pahaman dalam pengertian judul ini maka penulis merasa perlu untuk menguraikan beberapa makna yang menjadi kata-kata kunci dalam penelitian ini:
1.    Nilai, yaitu sifat-sifat atau hal-hal yang penting bagi kemanusiaan. Jika arti dari nilai dikaitkan dengan budaya maka bisa berarti bahwa konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia[4]. Dalam hal ini sesuatu bisa bernilai jika memiliki sifat atau hal-hal yang penting bagi subjek penggunanya.
2.    Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan masyarakat[5].
3.    Mappanre dalam bahasa Bugis berarti memberi makan, sedangkan Temme’  ialah orang yang tamat mengaji atau khatam al-Qur’an. Dalam Glosarium Sulawesi Selatan, Mappandre Temme diartikan sebagai proses pengadaan perjamuan sehubungan dengan khataman al-Qur’an[6]. Pada intinya Mappandre Temme’ adalah sebuah prosesi yang memberi apresiasi terhadap anak laki-laki atau perempuan yang telah tamat mengaji atau khatam al-Qur’an.
4.    Tanete Rilau, Kabupaten Barru, adalah sebuah daerah di Kabupaten Barru, tepatnya Sulawesi- Selatan. Dahulunya daerah ini merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Tanete yang sebelumnya bernama Kerajaan Agang Niojo.
Mengacu pada pengertian kata perkata di atas, maka definisi operasional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengungkapan nilai nilai dari sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat berupa prosesi sehubungan dengan khataman Alquran di Kecamatan Tanete Rilau. Ruang lingkup penelitian ini hanya terbatas pada wilayah Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru dan terfokus pada pelaksanaan ritual Mappanre Temme’ lalu berupaya mengkaji asal-usul, tata cara pelaksanaannya dan nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut.
III.   Latar Belakang Keberadaan Tradisi Mappanre Temme’
Menelusuri latar belakang tradisi Mappanre Temme’, tidak lepas dari islamisasi di Kerajaan Gowa pada abad XVII M. Setelah Islam diterima oleh Sultan Alauddin di masjid Tallo pada 9 November 1607. Mulai saat itulah Kerajaan Gowa-Tallo memproklamirkan Islam sebagai agama resmi kerajaan.[7] Keberadaan Kerajaan Gowa sebagai pusat Islamisasi berdasarkan kesepakatan sebelumnya antara kerajaan-kerajaan di Sulawaesi-Selatan, isi perjanjian tersebut, sebagai berikut:
..Bahwa barang siapa yang menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukan tentang jalan yang baik itu kepada raja-raja sekutunya..[8]
Proses penyebaran Islam pun dijalankan oleh Kerajaan Gowa dengan membawa dan mengirim utusan ke kerajaan-kerajaan tetangga di Sulawesi Selatan, dengan membawa hadiah yang diperuntukan kepada setiap raja yang didatangi oleh utusan tersebut.[9] Utusan tersebut membawa pesan kepada Raja Tanete agar datang ke Somba Opu, seperti yang tertera dalam lontara Tanete, dinyatakan bahwa:
..setelah lima tahun lamanya Petta Pallase LaseE memerintah di Kerajaan Tanete, datanglah seruan raja Gowa-Tallo kepada raja Tanete untuk datang ke Kerajaan Gowa-Tallo guna menerima Islam. Ketika itu seluruh orang Makassar dinyatakan masuk Islam. Setelah agaman Islam diterima dengan baik oleh Petta Pallase LaseE, maka kembalilah beliau menyampaikan atau menyerukan kepada rakyatnya, dan juga termasuk Raja Nepo..[10]
Setelah Petta Pallase LaseE masuk Islam pada tahun 1608, lima tahun setelah ia menjabat sebagai Raja Tanete dan satu tahun setelah Islam resmi menjadi agama Kerajaan Gowa Tallo. Dalam kegiatan syiar agama Islam, raja mengangkat seorang ulama, yaitu Lawaru Daeng Mattepu menjadi guru agamanya, sekaligus sebagai wakilnya dalam syiar agama Islam.[11]Setelah dua tahun syiar Islam seluruh masyarakat telah menerima Islam dengan baik, dilandasi dengan sistem sosial budaya dan hubungan baik antara para pedagang yang beragama Islam, tentu tanpa adanya pemaksaan kepada masyarakat untuk meninggalkan tatanan kultural mereka. Atas dasar itu Raja menetapkan Islam menjadi agama resmi kerajaan pada tahun 1610.[12] Pada sisi lain, masjid yang dibangun pada masa pemerintahan Petta Palla laseE setelah masuk Islam, dapat menjadi sebuah bukti keberadaan Islam di Tanete, meskipun tidak diketahui secara pasti pada tahun berapa masjid itu dibangun. Hal tersebut senada dengan hasil wawancara pada salah satu tokoh masyarakat setempat, yakni sebagai berikut:
Masjid Lailatul Qadr desa Lalabata adalah Masjid pertama di Tanete. Masjid itu dibangun oleh Petta Pallase LaseE. Bahkan masjid ini adalah Masjid ketiga tertua di Sulawesi Selatan setelah Masjid Katangka dan Masjid di Palopo.[13]
Berdirinya masjid di suatu tempat adalah bukti sejarah tentang masuknya Islam di tempat tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Sidi Gazalba, sebagai berikut:
Dalam sejarah kita dipersaksikan, tanda kekuasaanya suatu daerah.. oleh orang-orang Islam ialah didirikan masjid disitu, setelah masjid berdiri berlangsung proses pembentukan masyarakat, sehingga terbentuk masyarakat Islam, yang tadinya tidak ada disitu, pertanda Islam suatu kampung atau suatu kota ialah berdirinya masjid disitu.[14]
Kehadiran Islam di Kerajaan Tanete tentu memberi dampak baru terhadap perubahan sistem politik, budaya dan ekonomi masyarakat. Terlebih lagi,  terdapat hubungan dagang dengan para pedagang muslim dan hubungan baik dengan kerajaan Islam lain, salah satunya ialah Kerajaan Gowa-Tallo.
Setelah adanya masjid, dibentuklah Parewa Syara’ atau lembaga sara’ yang dipimpin oleh seorang Qadhi yang pada waktu itu Qadhi yang dipimpin  oleh Lasulo Daeng Matajang.[15] Pembetukan Parewa Syara’ itu berdampak pada tantanan religius dan kultural masyarakat. Perubahan dalam hal religius dapat dilihat dari masyarakat meninggalkan kepercayaan sebelumnya, dengan mengikis sedikit demi sedikit, sekaligus menanamkan Islam didalam diri masyarakat. Sedangkan, dari segi kultural berdampak pada perubahan tatanan kultural di masyarakat yaitu ade, wari, rapang dan bicara lalu ditambahkan lagi sara’ dalam tatanan kultural tersebut.[16] Pembentukan Parewa Syara ini juga yang mendasari pengadaan pendidikan dasar Alquran bagi anak-anak maupun  orang dewasa yang dilaksanakan dirumah-rumah guru-guru mengaji dan masjid. Seperti yang dijelaskan Mattulada sebagi berikut:
Untuk pendidikan dasar Alquran (membaca Alquran dan shalat) bagi anak-anak, mereka mengunjungi rumah-rumah guru mengaji. Untuk pendidikan lanjutan bagi para pemuda, maka mereka mengunjungi ulama tertentu yang memberikan pendidikan itu.[17]
Proses islamisasi di Sulawesi Selatan sendiri khususnya pada abad ke XVII, dikenal ada dua kerajaan yang menjadi pioner dalam penyebaran dan pengajaran Islam yaitu Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Tanete. Kerajaan Gowa-Tallo yang pertama menganjurkan proses islamisasi terhadap kerajaan-kerajaan di Sulawesi-Selatan dan Kerajaan Tanete menjadi pelaksana islamisasi terhadap kerajaan-kerajaan lain, terkhusus pada kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam persekutuan Malusetasi dan Ajattapareng. Kenyataan itu berdampak pada posisi dua kerajaan tersebut sebagai pusat studi Islam. Pusat studi Islam di Kerajaan Gowa-Tallo berpusat di Tallo yang dikunjungi oleh utusan kerajaan dari TellumpoccoE dan kerajaan-kerajaan di bagian Selatan, seperti Bulo-Bulo, Lamatti dan Bantaeng. Sementara kerajaan-kerajaan lain dari persekutuan Malusetasi dan Ajatappareng lebih memilih memperdalam pengetahuan Islam di Tanete.[18] Sehingga sangat memungkinkan jika penyebar Islam dan budaya-budaya yang bersifat islami mulai tersebar dari kedua kerajaan ini.
Jadi, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Tradisi Mappanre Temme’ yang merupakan sebuah tradisi masyarakat muslim setelah tamat mengaji hadir setelah Parewa Syara’ terbentuk, yang berperan penting dalam pendidikan Alquran untuk anak-anak dan dewasa. Parewa Syara’  dibentuk setelah Islam resmi menjadi agama kerajaan di Kerajaan Tanete pada 1610 M, tepatnya dua tahun setelah Petta Pallase LaseE masuk Islam dan setelah dibangun sebuah masjid di daerah Lalabata Kerajaan Tanete sebagai pusat studi Islam. Selanjutnya, keberadaan Kerajaan Tanete sebagai pusat studi Islam sangat berpengaruh dalam penyebaran budaya yang bernuansa islami pada masyarakat Bugis khususnya daerah Malusetasi dan Ajatapareng. Perlu pula diketahui, sebelumnya ada tatanan kultural masyarakat yang dipertahankan dan ada beberapa tradisi-tradisi yang bersifat syukuran dalam kehidupan masyarakat, sebelum Islam menjadi agama resmi pada tiap-tiap daerah.
IV.   PELAKSANAAN PROSESI MAPPANRE TEMME’
Pada dasarnya tradisi Mappanre Temme’ seperti yang dijelaskan dalam glosarium Sulawesi Selatan, diartikan sebagai proses pengadaan perjamuan sehubungan dengan khataman Alquran.[19] Berdasarkan hasil wawancara dari penulis dari salah satu informan yang masih menjalankan tradisi ini, yakni Mappanre Temme’ lebih dari sekedar sebuah tradisi pada saat tamat mengaji. Mappanre Temme’ adalah rangkaian puncak dari salah satu cara hidup orang muslim khusunya daerah Bugis (membaca Alquran) yang memiliki arti yang sangat mendalam, sehingga tradisi ini jangan disalah pahami hanya sebagai sebuah perayaan bagi orang yang telah tamat mengaji.[20]
Bahkan jika seseorang belum melaksanakan tradisi Mappanre Temme’, dianggap masih menjadi tanggungan guru mengaji atau sederhananya masih menjadi anak dari guru mengaji tersebut.[21] Adapun pendapat dari informan penulis yaitu Kamaluddin Aliah dan Abdul Jalil Aliah yang masing-masing berumur 76 dan 73 tahun, memiliki pengalaman bahwa jika seseorang tidak tamat Alquran dan untuk membuktikan telah tamat yakni perlu mengadakan Mappanre Temme’. Jika tidak, maka anak itu tidak dapat masuk Sekolah Rakyat (SR).[22]
Perlu pula dijelaskan bahwa tradisi Mappanre Temme’ pada awalnya adalah sebuah tradisi yang berdiri sendiri. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu serta memasuki era globalisasi, maka tradisi Mappanre Temme’ ini diefisienkan dan seringkali dirangkaian dengan acara khitanan serta acara Maulid,[23] walaupun terkadang masih banyak masyarakat yang melaksanakannya sendiri. Bahkan realitas saat ini, tradisi Mappanre Temme’ dirangkaikan dengan tradisi Mappaccing. Keberadaan tradisi Mappanre Temme’ pada tradisi Mappaccing karena ketakutan orang tua jika anak mereka belum melaksanakan tradisi Mappanre Temme’ setelah tamat mengaji saat kecil. Selain itu ada yang berpendapat demi mengefisienkan waktu. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa pelaksanaan Mappanre Temme pada tradisi Mappaccing dengan alasan bahwa Mappaccing adalah salah satu bagian penting dari hidup ini yakni pernikahan. Jadi sebelum menikah, ada baiknya menamatkan Alquran terlebih dahulu.[24] Senada dengan wawancara penulis kepada salah satu informan, yakni:
Menjelang perkawinan, perlu melaksanakan Mappanre Temme’ lebih dulu setelah itu baru Mappaccing.[25]
Rangkaian prosesi pada Mappanre Temme’ dimulai dari menyiapkan berbagai hal yang diperlukan dalam melaksanakan tradisi ini. Pertama, menyiapkan kue, songkolo dan ayam, salosso’. Berdasarkan hasil wawancara mengenai songkolo dan salosso’ dapat dilihat di bawah ini:
Songkolo itu perlu ada pada setiap prosesi orang Bugis-Makassar khususnya umat Islam. Sesuai dengan bentuk dari songkolo’ yang mappije’ memiliki simbol persatuan umat dalam hal ini umat Islam.[26]
Salosso´ ember-ember yang berisi songkolo ayam atau telur, dan biasanya ditemui saat acara-acara maulid. Salosso’ pada tradisi Mappanre Temme’  biasanya diperuntukkan kepada guru mengaji.[27]
Kue yang disiapkan pun ada beberapa yang hanya sebuah hidangan dan ada yang memang sebuah kue wajib. Kue yang wajib ada saat pelaksanaan prosesi ini ialah kue bannang, onde-onde, barongko, doko’doko’ cangkuling, giling-kiling, cucuru’ ma’dingki dan lapisi yang dihidangkan dalam satu kappara’.[28] Maksud diwajibkankannya kue ini, selain sebagai sebuah tradisi yang turun temurun, kue-kue ini pun perlu dipahami memiliki maksud mendalam sebagai sebuah do’a. Salah satu wawancara penulis dengan tokoh masyarakat yakni Abdul Basir, menyebutkan bahwa dalam tradisi masyarakat Bugis khususnya Tanete ini terdapat istilah do’a langsung dan do’a perbuatan.[29] Jadi, kue-kue ini dapat dikatakan sebagai refleksi langsung dari do’a perbuatan. Karena mengandung nilai filosofis yang luar biasa, misalnya saja: Kue bannang memiliki model/bentuk yang berlika-liku. Kue ini memiliki essensi tentang harapan agar seorang anak mampu memahami bahwa dalam kehidupan ini banyak rintangan yang pasti akan dihadapi sama halnya dengan model dan bentuk kue bannang ini.[30]Bannang dapat pula bermakna tentang persatuan Islam, kue ini bentuknya kompleks. Meski memiliki bentuk seperti itu, akan tetapi kue ini tetap menyatu dalam satu kue.[31]
Selain itu, kue lain tentu memiliki pengharapan dan do’a yang sama baiknya dengan kue yang dijelaskan di atas. Kue-kue ini tidak hanya sekedar hidangan atau pelengkap demi suksesnya sebuah acara atau kegiatan, tapi di dalamnya terkandung banyak essensi yang perlu digali dan perlu mencari maksud keberadaan dari kue-kue tersebut dalam pelaksanan sebuah acara, terkhusus pada tradisi Mappanre Temme’ ini.
Rangkaian berikutnya, perlu menyiapkan ayam dua potong untuk dibawa ke guru mengaji. Ayam yang dibawa sebagai tanda terima kasih kepada guru, atau pengharapan dari wujud do’a perbuatan tersebut. Ayam tersebut diberikan kepada guru mengaji dan guru mengaji memberi salah satu bagian dari ayam yakni hati ayam, sebagai tanda cinta dan harapan mendalam kepada muridnya.[32] Selain itu, perlu menyiapkan utti tellu seppe’ (pisang tiga sisir) yang juga dibawa kerumah guru mengaji.[33] Sekali lagi, jika tidak dilaksanakan berarti si murid masih menjadi tanggungan atau anak si guru mengaji, dalam hal ini merupakan prosesi akhir dari Mappanre Temme’.
Tahapan pelaksanaan tradisi Mappanre Temme’ selanjutnya, adalah membawa murid yang tamat mengaji ke rumah guru mengaji. Berdasarkan hasil penelitian ini, tidak diketahui dengan pasti tata cara pelaksanaan tradisi Mappanre Temme’ pada tahapan ini karena informan yang diwawancarai oleh penulis batas usia maksimal yang penulis dapatkan hanya pada usia 92 tahun yang lahir pada tahun 1921 ialah Daud Aliah Daeng Pawero. Berdasarkan hasil wawancara terhadap salah satu informan, cara membawa anak ke rumah guru mengajinya pada masa itu, hanya sekedar dibawa saja oleh orang tuanya.[34] Ini berarti terdapat perbedaan dengan tradisi serupa di Mandar yakni Mappatamma’, dimana anak dibawa dengan naik kuda.
Setelah itu, perlu diadakan barazanji dalam rangkaian pelaksanaan tradisi Mappanre Temme’.[35] Setelah barazanji selesai mulailah prosesi inti yakni membaca Alquran dalam tradisi Mappanre Temme’. Pembacaan Alquran biasanya dilakukan oleh murid yang ingin menamatkan mengaji.[36] Tapi ada perbedaan pendapat antara salah satu informan yang penulis temui, bahwa pembacaan Alquran tidak selamanya murid yang membaca akan tetapi guru mengaji ataupun imam masjid yang membaca Alquran tersebut sembari memegang jari telunjuk murid untuk membantunya menamatkan Alquran.[37]
Sebelum membaca Alquran, selain ta’audz dan membaca basmalah, harus mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, membaca surah, terdapat beberapa rentetan surah tersendiri yang dibaca, dapat dilihat dari hasil wawancara yang seluruhnya berpendapat sama, yakni surah yang dibaca ialah al-Duha sampai al-Fatihah, tapi jika telah masuk ke dalam surah al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas maka surah tersebut masing-masing dibaca tiga kali, dan setiap kali selesai membaca surah demi surah diharuskan membaca kalimat tahlil dan tahmid (La Ilaha Illallah wa lillah Ilham).[38] Setiap selesai membaca kalimat tahlil dan tahmid (La Ilaha Illallah wa lillah Ilham), murid mengaji akan dipercikkan sedikit beras, seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa ini adalah wujud dari do’a perbuatan (sennung-sennungeng).[39] Pada salah satu wawancara penulis dengan salah satu tokoh agama, kegiatan ini dinamakan Mappasiduppa (mempertemukan) dalam hal ini mempertemukan setiap ayat yang dibaca dari al-Duha sampai al-Fatihah.[40]
Pada tahapan selanjutnya secara umum, murid kemudian memberikan guru mengaji amplop yang berisi uang (ikhlas tapi wajar). Abdul Basir mengatakan bahwa amplop tersebut diberikan oleh murid mengaji kepada guru mengaji sebagai bentuk terima kasih dan cenning ati terhadap guru mengaji tersebut. Selain itu, murid perlu pula memberikan kepada guru mengajinya sebuah Alquran yang dibungkus didalam kain putih.[41] Seperti yang dijelaskan diatas, mengenai dua ekor ayam ayam yang dibawa. Hati ayam tersebut diberikan kepada murid mengaji untuk dimakan langsung dihadapan guru mengaji.[42] Hati ayam memberi simbol tersendiri atas rasa cinta guru terhadap muridnya.
Setelah guru mengaji tersebut memberikan makan terhadap muridnya, maka berakhirlah rangkaian prosesi dari tradisi Mappanre Temme’. Tahapan prosesi yang dijelaskan, merupakan serangkaian tahapan-tahapan dalam proses penamatan Alquran. Prosesi Mappanre Temme’ memerlukan berbagai persiapan mulai dari kue-kue, hidangan, songkolo, beberapa ekor ayam, Alquran yang dibungkus kain putih, amplop bagi guru mengaji (sebagai cenning ati) dan tentu saja Alquran yang digunakan untuk membaca.
V.  Nilai – Nilai dalam Tradisi Mappanre Temme’
Nilai merupakan suatu konsepsi abstrak yang tidak dapat dilihat apalagi disentuh. Konsepsi abstrak dari sebuah nilai, melembaga dalam pikiran manusia baik secara individu maupun secara sosial dalam masyarakat, melembaganya sebuah nilai maka dapat dikatakan sebagai sistem nilai. Tanpa sebuah nilai, hal apapun itu tidak akan berarti apa-apa bagi manusia karena perwujudan sebuah nilai memang wajib adanya, demi eksistensi dari sebuah hal.
Oleh karena itu, dalam mewujudkan eksistensi dari tradisi Mappanre Temme’, maka diperlukan nilai-nilai yang tetap menjaga keberadaan tradisi tersebut. Dalam hal ini, penulis mencoba menganalisis tradisi Mappanre Temme’ dengan menggunakan berbagai pendekatan, terkhusus pada pendekatan sosiologi.
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari cara hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu, serta pula kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama dalam tiap persekutuan hidup manusia.[43] Oleh karena itu, melalui pendekatan sosiologi ini, diharapkan mampu mendekati tradisi Mappanre Temme’ dari sudut pandang masyarakat maupun mengambil nilai yang memiliki orientasi bersifat baik bagi masyarakat.
Tradisi Mappanre Temme’ jika dicermati dari segi pelaksanaan dari awal hingga akhir tidak terlepas dari kontribusi manusia sebagai makhluk sosial. Mulai dari persiapan kue-kue, songkolo, ayam, salosso’, Alquran dan lain sebagainya. Hingga pada tahap pelaksanaan Mappanre Temme’ itu sendiri, Barazanji, membawa anak ke rumah guru mengaji atau masjid dan mengaji di hadapan gurunya. Serangkaian kegiatan itu, merupakan seluruh konsep kegiatan yang tidak terlepas dari kontribusi manusia lainnya dan tentunya manusia tidak berdiri sendiri sebagai sebuah individu.
Melalui penjabaran pelaksanaan kegiatan diatas dapat diambil beberapa nilai-nilai sosial, berlaku bagi individu yang hidup dalam masyarakat maupun masyarakat dengan masyarakat lain, diantaranya:
1.      Gotong royong, merupakan sebuah nilai yang tersirat jelas dalam tradisi ini. Pelaksanaan prosesi Mappanre Temme’ tentu membutuhkan kerja sama yang baik sehingga dalam proses penyelesaian tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan Mappanre Temme’ terbangun kerja sama yang baik antara manusia sebagai individu kepada masyarakat lainnya. Gotong royong dapat ter-aplikasi dengan baik, tentunya dapat terlaksana karena tradisi ini dilaksanakan didaerah pedesaan yang ikatan kekerabatannya jauh lebih baik dibandingkan dengan perkotaan. Seperti yang dijelaskan oleh Basrowi bahwa:
Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan masyarakat kota, Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan.[44]
2.      Tolong-menolong; jelas merupakan sebuah nilai sosial yang terkandung dalam tradisi ini selanjutnya. Konsep tolong menolong tidak dapat terlepas dari prinsip gotong royong, keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling menjaga. Hal ini pun, didukung dengan sebuah dalil dalam Q.S al-Maidah/5:2 :

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.[45]
3.      Solidaritas; nilai solidaritas tidak dapat terlepas dari tradisi ini. Terlebih lagi, telah ada nilai yang terjaga dalam tradisi ini yaitu gotong royong dan tolong menolong. Maka secara otomatis, akan muncul nilai solidaritas dalam tradisi Mappanre Temme’. Solidaritas memiliki pengertian sebagai sifat/ perasaan solider atau sifat satu rasa atau perasaan setia kawan.[46] Jika solidaritas terbangun dengan baik antar masyarakat tentunya melalui tradisi ini, maka dapat dipastikan hubungan emosional antara individu dengan individu lain, maupun masyakarat dengan masyarakat lain akan semakin terjaga. Dalam hal ini, hubungan antara murid dan guru serta hubungan antara murid dan keluarganya.
4.      Komunikatif; unsur nilai ini, merupakan salah satu bagian terpenting dalam tradisi ini, karena jika tidak terjalin komunikasi dalam hal apapun, maka sangat mustahil tahapan demi tahapan dari pelaksanaan tradisi Mappanre Temme’ akan terlaksana. Selain itu, komunikasi juga dapat memberi manfaat lain, dalam hal ini individu dengan individu lain dapat saling berbagi informasi sehingga memperluas cakrawala pengetahuan mereka masing-masing, juga dapat semakin melebarkan sayap tradisi ini dan mempertahankan eksistensi tradisi ini (sejarah lisan).
Penjelasan di atas, mengakhiri penjelasan mengenai nilai-nilai sosial yang terkandung dalam tradisi Mappanre Temme’. Nilai-nilai yang terkandung dari ini, tentunya dapat diamalkan dengan baik oleh masyarakat yang nantinya dapat membuat tradisi ini dapat bertahan dan mampu untuk terus berkembang.
VI.   KESIMPULAN
Berdasarkan pokok masalah dan sub-sub masalah yang diteliti dalam tulisan ini, maka dirumuskan tiga kesimpulan sebagai berikut:
1.      Tradisi Mappanre Temme’ yang merupakan sebuah tradisi masyarakat muslim setelah tamat mengaji hadir setelah dibentuknya Parewa Syara’ yang berperan penting dalam pendidikan Alquran untuk anak-anak dan dewasa. Parewa Syara’ pun dibentuk tentu setelah Islam resmi menjadi agama kerajaan di Kerajaan Tanete pada 1610 M, tepatnya dua tahun setelah Petta Pallase LaseE masuk Islam dan setelah dibangun sebuah masjid di daerah Lalabata Kerajaan Tanete sebagai pusat studi Islam. Selanjutnya, keberadaan Kerajaan Tanete sebagai pusat studi Islam sangat berpengaruh dalam penyebaran budaya pada masyarakat Bugis khususnya daerah Malusetasi dan Ajatapareng. Perlu pula diketahui sebelumnya ada tatanan kultural masyarakat yang dipertahankan dan ada beberapa tradisi-tradisi yang bersifat syukuran di masyarakat sebelum Islam ada.
2.      Pelaksanaan tradisi Mappanre Temme’ dimulai dari menyiapkan berbagai perlengkapan dan hal-hal yang dibutuhkan demi jalannya tradisi ini. Prosesi Mappanre Temme’ memerlukan berbagai persiapan mulai dari kue-kue, hidangan, songkolo, beberapa ekor ayam, Alquran yang dibungkus kain putih, amplop bagi guru mengaji (sebagai cenning ati) dan tentu saja Alquran yang digunakan untuk membaca.
Setelah menyiapkan berbagai perlengkapan, lalu dibawalah anak tersebut menuju rumah guru mengaji dengan cara di soppo mengelilingi kampung oleh keluarga terdekatnya dalam hal ini pada zaman dulu. Adapun pendapat lain yang mengatakan bahwa, hal itupun terjadi (di soppo) jika bersamaan dengan kegiatan khitanan, artinya cara membawa anak ke rumah guru mengajinya pada masa itu, hanya sekedar dibawa saja oleh orang tuanya.
Selanjutnya melaksanakan barazanji telebih dahulu sebelum memulai prosesi Mappanre Temme’. Setelah barazanji selesai, mulailah prosesi inti yakni membaca Alquran guna menamatkan Alquran itu sendiri. Pembacaan Alquran biasanya dilakukan oleh murid yang ingin menamatkan mengaji. Adapun pendapat lain bahwa, pembacaan Alquran tidak selamanya murid yang membaca akan tetapi guru mengaji ataupun imam masjid yang membaca Alquran tersebut sembari memegang jari telunjuk murid untuk membantunya menamatkan Alquran. Alquran yang dibaca pun tidak semua, sampai seluruh Alquran habis dibaca. Surah yang dibaca ialah al-Duha sampai al-Fatihah tapi jika telah masuk ke dalam surah al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas maka surah  tersebut masing-masing dibaca tiga kali, dan setiap kali selesai membaca surah demi surah diharuskan membaca kalimat tahlil dan tahmid (La Ilaha Illallah wa lillah Ilham). Setiap selesai membaca tiap surah selain membaca kalimat tahlil dan tahmid (La Ilaha Illallah wa lillah Ilham) seorang murid mengaji akan dipercikkan sedikit beras kepada dirinya sama, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ini adalah wujud dari do’a perbuatan (sennung-sennungeng) tahapan prosesi ini dikenal dengan istilah Mappasiduppa.
Setelah tahapan tersebut, murid kemudian memberikan guru mengaji amplop yang berisi uang (ikhlas tapi wajar) sebagai bentuk terima kasih dan cenning ati buat guru mengaji tersebut. Selain itu, murid perlu pula memberikan kepada guru mengajinya sebuah Alquran yang dibungkus didalam kain putih. Selanjutnya guru mengaji tersebut memberikan makan terhadap muridnya dalam hal ini hati ayam yang disuapkan langsung sebagai bentuk cinta guru terhapap murid.
3.      Demi mewujudkan eksistensi dari tradisi Mappanre Temme’, maka diperlukan nilai-nilai yang tetap menjaga keberadaan tradisi tersebut. Melalui pendekatan sosiologi dapat diambil beberapa nilai-nilai sosial dalam tradisi tersebut yaitu nilai gotong royong, tolong-menolong, solidaritas dan komunnikatif.
DAFTAR PUSTAKA
Basrowi, Pengantar Sosiologi Cet. I; Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi. IV Cet. I;  Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gazalba, Sidi. Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Mappangara, Suriadi. Glosarium Sulawesi Selatan Cet I, Makassar; BPNST Makassar, 2007.
Mattulada, Islam di Sulawesi Selatan Makassar; Laporan Fisbud Unhas, 1976.
Nasrah, St. Mahasiswa dan Pembaharuan Cet I, Yogyakarta; Grha Guru, 2004.
Poelinggomang, Edward. Sejarah Sulawesi Selatan,  Jilid. II, Makassar: Balitbangda, 2004.
Sahajuddin. “Proses Islamisasi di Kerajaan Tanete Barru pada Abad XVII”. Walasuji no 1 (Juni 2010), h. 106.
Sahajuddin. “To Manurung  Versus To Sangiang”. Bosara no. 2/VI/2008 (Juni 2008)
Sewang, Ahmad. M.  Islamisasi Kerajaan Gowa – Abad XVI sampai Abad XVII Cet II; Jakarta; Yayasan Obor Indonesia,2005.
Wahid, Sugira. Manusia Makassar Cet. I; Makassar: Pustaka Refleksi, 2007.
Waliono, Hasan. Tanete; Suatu Studi Sosiologi Politik, Disertasi Makassar: Universitas Hasanuddin, 1976.



[1]Unsur-unsur pembentukan kebudayaan yang bersifat universal, seperti: bahasa, sistem teknologi harian, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian. Lihat dalam Sugira Wahid, Manusia Makassar (Cet. I; Makassar: Pustaka Refleksi, 2007), h.4.
[2]Hasan Waliono, Tanete; Suatu Studi Sosiologi Politik, Disertasi (Makassar: Universitas Hasanuddin, 1976), h. 66.
[3]Ibid, h. 29.
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi IV (Cet I,  Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama)., h. 963
[5] Ibid. h. 1483
[6] Suriadi Mappangara, Glosarium Sulawesi Selatan, (Cet I, Makassar; BPNST Makassar, 2007)., h. 274
[7]St Nasrah, Mahasiswa dan Pembaharuan (Cet I, Yogyakarta; Grha Guru, 2004), h. 25.
[8]Ibid, h. 112
[9]Ahmad. M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa – Abad XVI sampai Abad XVII (Cet II; Jakarta; Yayasan Obor Indonesia,2005), h. 111.
[10]Lihat Edward Poelinggomang, Sejarah Sulawesi Selatan,  Jilid. II (Makassar: Balitbangda, 2004), h. 50. dalam Sahajuddin. “Proses Islamisasi di Kerajaan Tanete Barru pada Abad XVII”. Walasuji no 1 (Juni 2010), h. 106.
[11]Sahajuddin. “To Manurung  Versus To Sangiang”. Bosara no. 2/VI/2008 (Juni 2008),h. 107.
[12]Ibid.
[13]M. Yusuf Aliah, Imam Masjid Lailatul Qadr, ‘wawancara’ Tanete Rilau 26 Mei 2013
[14]Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 165.
[15]Ibid,  h. 32.
[16]Sahajuddin, op.cit, h. 110.
[17]Mattulada, Islam di Sulawesi Selatan (Makassar; Laporan Fisbud Unhas, 1976), h. 20.
[18]Sahajuddin, op.cit., h. 109-110.
[19]Suriadi Mappangara, Glosarium Sulawesi Selatan (Cet. I; Makassar: BPNST Makassar, 2007), h. 274.
[20]St Nasrah, Kepala Sekolah Smp YP PGRI, ‘wawancara’ Makassar 15 Juni 2013.
[21]Abdul Basir, Guru Mengaji, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[22]Kamaluddin Aliah dan Abdul Jalil Aliah, Tokoh Agama dan Imam Desa Pancana, ’wawancara’ Tanete Rilau 23-24 Mei 2013.
[23]Kamaluddin Aliah, Tokoh Agama, ’wawancara’ Tanete Rilau 23 Mei 2013.
[24] Abdul Jalil Aliah, Imam Desa Pancana, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[25]Abd. Rauf Aliah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, ‘wawancara’ Tanete Rilau 23 Juni 2013.
[26]Abd. Rauf Aliah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, ‘wawancara’ Tanete Rilau 23 Juni 2013.
[27]St Nasrah, Kepala Sekolah Smp YP PGRI, ‘wawancara’ Makassar 18 Juni 2013
[28]Abdul Jalil Aliah, Imam Desa Pancana, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[29]Abdul Basir, Guru Mengaji, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[30]St. Nasrah, Kepala Sekolah Smp YP PGRI, ’wawancara’ Makassar 15 Juni 2013.
[31]Abd. Rauf Aliah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, ‘wawancara’ Tanete Rilau 23 Juni 2013.
[32]Abdul Basir, Guru Mengaji, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[33]Abu Majid, Tokoh Agama, ’wawancara’ Tanete Rilau 26 Mei 2013.
[34]Abdul Jalil Aliah, Imam Desa Pancana, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[35]Daud Aliah Daeng Pawero, Imam Desa Lalabata, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[36]Kamaluddin Aliah dan Abdul Jalil Aliah, Tokoh Agama dan Imam Desa Pancana, ’wawancara’ Tanete Rilau 23-24 Mei 2013.
[37]Abdul Basir, Guru Mengaji, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[38]Kamaluddin Aliah, Tokoh Agama, ’wawancara’ Tanete Rilau 23-24 Mei 2013.
[39]Abdul Basir, Guru Mengaji, ’wawancara’ Tanete Rilau 24 Mei 2013.
[40]Abu Majid, Tokoh Agama, ‘ wawancara’ Tanete Rilau  26 Mei 2013.
[41]Abdul Basir, Guru Mengaji, ’wawancara’ Tanete Rilau  24 Mei 2013.
[42]Kamaluddin Aliah, Tokoh Agama, ‘wawancara’ Tanete Rilau 23 Mei 2013.
[43]Lihat Hassan Sadhily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia (Cet IX ;Jakarta ;Bina Aksara, 1983), h. 1 dalam Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet XII; Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 38-39.
[44]Basrowi, Pengantar Sosiologi (Cet. I; Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), h. 59.
[45]Departemen Agama RI, op. cit., h.106.
[46]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi. IV (Cet. I;  Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), h.1328.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NILAI NILAI SOSIAL DALAM TRADISI MAPPANRE TEMME’

Sebenarnya tulisan ini merupakan penelitian saya sewaktu menempuh pendidikan strata satu pada UIN Alauddin Makassar, jurusan Sejarah dan K...